Tugas keluarga dalam menjaga kesehatan mental anak

 

 

Tugas keluarga tidak sebatas memberi nafkah lalu selesai, titik!. Idealnya, anak merupakan simbol dari harapan, penerus silsilah, dan jaminan kehidupan orang tua di masa mendatang. Sayangnya, tidak semua orang berkesempatan mencicipi rasanya memiliki anak. Ya, anak adalah bentuk lain dari “rejeki” yang tidak semua pasangan beruntung mendapatkannya. Anak adalah titipin yang harus dijaga jasmani dan rohaninya, fisik dan mentalnya, tanpa berat sebelah atau hanya fokus pada satu sisi saja.

Menjaga performa fisik agar anak senantiasa menarik saat dipandang adalah tugas keluarga. Setiap hari usahakan anak memakai baju bersih, sandal bebas debu, rambut di sisir rapi, dengan sedikit parfum alami yang disemprotkan disana-sini. Dengan kondisi demikan, siapa saja yang dekat dengan anak-anak Anda akan merasa nyaman, dan tidak mengasingkannya.

Kasihan sekali jika sampai si kecil dihindari teman-temanya karena bajunya yang dekil dan bau kecutnya yang merebak kemana-mana. Apakah tugas keluarga hanya sampai disini saja? Tidak!. Jika Anda menganggap tugas Anda selesai dengan hanya memperhatikan performa fisiknya saja, Anda memperlakukan anak tidak lebih dari sebuah boneka (atau manekin yang jadi pajangan di toko-toko busana). Anak memiliki ruh, jiwa, mental yang harus diperhatikan kesehatan dan perkembangannya.

Bicara mentalitas adalah bicara hal yang absurd. Kita sebagai orang tua hanya bisa meraba-raba apa yang ada dalam pikiran dan benak anak. Tidak bisa men-justifikasi secara langsung kenapa anak melakukan tindakan-tindakan yang diluar kebiasaan masyarakat pada umumnya. Ini hanya bisa di identifikasi jika anak-anak kita adalah tipe pribadi yang ekstrovert.

Anak-anak ekstrovert yang temperamental lebih mudah dideteksi alasan kemarahannya sebab mereka akan mengeluarkan unek-unek-nya secara langsung. Namun, bagi mereka yang berkepribadian introvert, apa yang akan terjadi? Mereka cenderung diam, memendam perasaan, menangis sendiri di sudut kamar, lalu tiba-tiba meninggalkan rumah. Sudah banyak terjadi kasus seperti ini.

Sebagai orang tua, tentu Anda tidak ingin ada sesuatu yang “janggal” pada diri si kecil. Mari kita jalankan tugas keluarga dengan baik agar nantinya kepribadian si kecil berkembang ke arah positif. Tugas keluarga yang dimaksud tidak lepas dari pemenuhan kebutuhan kejiwaan yang selama ini mungkin kita lalai melakukannya. Kebutuhan kejiwaan yang terpenuhi dengan baik akan mengarah pada terbentuknya kepribadian positif. Kepribadian positif ini akan bermanfaat bagi dirinya sendiri atau saat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ingin anak bebas masalah kesehatan mental? Tugas keluarga ini solusinya!

1.    Pemenuhan Kasih Sayang

Kasih sayang adalah sesuatu yang tidak konkrit dan hanya bisa dirasakan dengan hati. Kasih sayang adalah jiwa dari setiap tindakan yang Anda lakukan. Menafkahi anak yang disertai dengan rasa kasih dan sayang tentu terasa mengena di hati anak. Imbasnya, anak akan merasa haru, merasa iba, dan merasa satu saat harus membalas budi baik orang tuanya.

Ya, kasih sayang bisa dirasakan dan bisa terdeteksi dengan mata hati. Saat Anda berinteraksi dengan melibatkan kasih sayang, entah itu dalam bentuk pemberian, pendisiplinan, ajakan, larangan, maka batin anak bisa membacanya. Begitupun saat Anda berinteraksi dengan batin yang menahan benci, egois, cuek dan enggan, anak pun bisa menangkap rasa batin itu  dengan mata hatinya.

Kasih sayang memang tidak selamanya identik dengan kelembutan. Interaksi yang hanya didominasi kelembutan saja, rawan jatuh pada definisi manja dan tidak bagus bagi perkembangah kepribadian si kecil di masa mendatang. Jika Anda adalah tipikal orang tua yang sibuk, cara mengungkapkan kasih sayang yang tepat adalah dengan menyediakan quality time untuk si kecil. Quality time tidak harus lama, tidak harus sering, namun Anda bisa menjadikan momen yang singkat itu mengena di hati anak dan selalu dirindukan.

2.   Penuhi Tugas sebagai Seorang Ibu

Wanita memiliki tugas alamiah menjadi seorang ibu. Wanita yang berkeluarga dan menyandang status ibu, memiliki tugas purba untuk mengurus urusan domestic termasuk memberikan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya kepada si kecil. Wujud perhatian pertama yang diberikan ibu kepada anak adalah menimang dan menyusuinya. Interaksi fisik yang intens antara ibu dan anak saat masih kecil akan memberikan efek merasa dicintai pada diri anak.

Pun demikian saat anak-anak sudah bisa dilepas dan tidak tergantung pada ibunya, sebagai seorang ibu Anda wajib memberikan kasih sayang seutuhnya di sela-sela kesibukan yang Anda miliki. Agar apa? Agar anak tidak merasa Anda mengasingkannya dengan gelimang materi yang saban hari Anda berikan. Gelimang materi itu tidak akan mampu menggantikan kasih sayang yang Anda miliki. Anak butuh dekapan seseorang yang melindunginya dan dia anggap perhatian padanya. Siapa lagi jika bukan seorang ibu yang melakukan tugas keluarga ini?

3.   Atur Toleransi

Toleransi adalah sikap positif yang sebaiknya dilakukan saat berinteraksi dengan orang lain. Toleransi merupakan simbol kedewasaan yang dilakukan dengan mengesampingkan sifat ingin menang sendiri. Pada anak, toleransi harus dijalankan sesuai dengan kadarnya. Anak adalah bagian dari diri kita selaku orang tua. Harapan kita, anak tidak hanya bebas dan bahagia, namun ada sisi mandiri dan bertanggung jawab yang harus dikembangkan untuk masa depannya.

Tarik ulur toleransi wajib kita lakukan sebagai orang tua. Jangan sampai anak hanya fokus pada kebahagiaan dan kebebasannya saja, tetapi tidak perduli pada peran, tanggung jawab dan kemandirian yang harus dijalani pada fase kehidupan selanjutnya. Kita sebagai orang tua tidak selamanya berkesempatan mendampingi.

Ada masanya kita akan rapuh dan butuh perawatan. Pada saat inilah tangis anak yang kita disiplinkan semasa kecilnya, akan berbuah kesiapan dan kematangan di masa mendatang.

4.   Hindari sikap otoriter

Memposisikan diri sebagai tipikal orang tua yang otoriter adalah kebiasaan negatif yang harus dihindari. Dengan pengetahuan psikologi yang masih terbatas, banyak orang tua yang bertindak otoriter kepada anak-anaknya dengan dalih, “demi kebaikan anak”. Menurut penelitian, sikap otoriter orang tua yang identik dengan banyaknya instruksi dan bentakan akan mematikan sel syaraf anak. Alhasil, kreativitas anak menjadi tidak berkembang.

Sikap otoriter sejatinya adalah sikap yang mengambil posisi yang berbeda dengan anak. Anak dianggap sebagai pihak inferior yang tidak boleh “bersuara” kecuali hanya “suara” dari orang tuanya. Padahal, dalam diri anak ada kebutuhan untuk mengungkapkan pendapat,  ingin di dengar, passion yang mungkin arahnya berbeda dengan orang tua, ketertarikan,dan sebagainya. Anak yang berada di bawah bayang-bayang instruksi orang tuanya terus menerus akan kehilangan keriangan dalam menjalani kegiatannya. Karena apa? Karena anak tidak menjiwai kegiatan pilihan orang tuanya itu.

Akhirnya, kesehatan mental anak akan terganggu. Anak tumbuh sebagai pribadi yang tidak percaya diri karena terlalu sering disudutkan dan tidak diapresiasi. Karakter ini akan berpengaruh besar pada kehidupan anak baik itu dalam bergaul, bekerja, berinteraksi dengan masyarakat, termasuk juga kesulitan berdamai dengan dirinya sendiri. Terasa ada yang kurang dengan dirinya, dan ada yang menjadikannya sulit untuk menemukan ketenangan diri.

5.   Hilangkan sifat ambisius

Merencanakan sesuatu yang baik bagi masa depan anak adalah hal positif yang dilakukan oleh orang tua. Dalam menentukan pilihan itu, ada satu hal yang harus diperhatikan, yaitu hindari sifat ambisius yang berpengaruh pada metode yang Anda gunakan dalam mengarahkan anak.

Ambisius adalah sifat manusiawi yang cenderung negatif kesannya. Bagaimana tidak? seseorang yang ambisius cenderung gelap mata, menegasikan perasaan orang lain untuk mencapai tujuannya, cara yang ditempuhpun tidak lagi menjadi masalah, entah itu baik maupun buruk asalkan ending-nya adalah tujuannya tercapai.

Lalu, bagaimana perasaan anak jika ambisi yang melambung tinggi itu sama sekali tidak sesuai dengan kapasitas anak dan tidak cocok dengan minatnya, apakah anak merasa nyaman dengan pilihan Anda? Tidak!. Memang, sikap ambisius Anda serasa mendapatkan ruang jika kebetulan si kecil adalah tipikal pribadi yang cuek dan keinginannya sesuai dengan harapan Anda. Namun bagaimana jika secara kriteria anak Anda adalah pribadi melankolis, tidak tahan bentakan, traumatis, dsb? Sungguh, Anda seperti merenggut kebahagiannya.

Sifat ambisius tampak melalui kata dan sikap yang Anda tunjukkan. Cobalah untuk mempelajari cara komunikasi yang cocok dengan usia anak, jadilah teman yang baik untuknya agar Anda bisa mempengaruhi pola pikirnya dengan cara yang halus.

6.   Jaga harga diri anak

Dalam diri siapapun, termasuk dalam diri anak, ada satu hal yang harus Anda perhatikan, yaitu harga diri/ self esteem. Kepribadian masing-masing orang berbeda. Ada yang tahan diremehkan, dan ada yang mendendam luar biasa saat dirinya disepelekan, mereka bahkan merancang strategi untuk balas dendam dan memendamnya hingga tujuh turunan. Apapun itu, yang jelas jangan sampai Anda sebagai orang tua tidak bisa menghargai anak-anak Anda.

Kebiasaan yang suka menjatuhkan, menyalahkan, dan memaki anak dengan bullying yang tiada henti setiap harinya, akan menggangu kesehatan mental anak. Lambat laun anak akan merasa lepas ikatan batinnya dengan Anda dan beralih ke tempat lain untuk mendapatkan kenyamanan dirinya.

Saat anak kehilangan figur orang terdekat yang seharusnya mengayominya, anak akan berperilaku diluar kendali, tidak lagi menaruh hormat pada orang tuanya dan cenderung melawan. Hargai sekecil apapun usaha si kecil dan jangan sesekali melontarkan ucapan yang mengoyak harga dirinya sebagai seorang anak.

7.   Kebutuhan untuk mengenal

Memori dan pengalaman anak tentu tidak sekaya yang Anda miliki. Rasa curious anak cukup tinggi karena mereka berhasrat untuk tau apapun lebih banyak. Sesuatu yang mungkin Anda anggap “basi” adalah sesuatu yang amat sangat baru bagi anak. Jika anak-anak sering kepo, tugas keluarga adalah merespon keingintahuan itu dengan sebaik-baiknya.

Jangan enggan, jangan ogah, jangan bosan, karena ini adalah fase dimana anak-anak mengisi memori otaknya sedikit demi sedikit tentang kehidupan yang baru baginya. Keinginan untuk mengenal banyak ini berdampak pada bahaya yang mengintainya. Untuk itu, dalam proses pengenalan tersebut, lakukan proteksi yang sesuai porsinya agar anak tidak sampai mengalami bahaya yang tidak diinginkan.

Tugas keluarga dalam menjaga kesehatan mental anak tidak terbatas pada poin-poin diatas saja. Konsultasikan ini dengan pasangan masing-masing agar mental anak tumbuh dan berkembang dengan baik sebagaimana Anda memperhatikan penampilan fisiknya.

Kesehatan mental anak besar pengaruhnya bagi si kecil, entah bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat sekitar. Mari kita perhatikan apakah ada yang janggal dengan tutur kata dan sikap anak dalam kehidupan sehari-hari. Segera temukan jawabannya dengan pemenuhan kebutuhan kejiwaan yang harus Anda berikan saat ini juga.

Semoga bermanfaat.

baca juga

Memahami Penyebab Anak Nakal dan 8 Cara Ampuh Mengatasinya

Iklan