Masalah Keluarga dan dampaknya pada anak kita

 

Masalah keluarga seringkali menjadi penyebab seorang anak tumbuh tidak sewajarnya. Terkadang saya secara pribadi merasa iba dengan anak-anak yang lahir dalam keluarga yang bermasalah. Saat saya memandang seorang anak bertingkah laku liar, sensitive, pemarah, brutal, saya tidak berani langsung menge-judge anak tersebut nakal dan memiliki karakter negatif . Saya harus terlebih dahulu menyelidiki apa penyebabnya, apakah dia lahir dalam keluarga yang harmonis atau justru hadir ke dunia dan beraktivitas di tengah-tengah kita dengan masalah keluarga yang menghantui.

Saya suka dengan konsep “berfikir ahistoris dan berfikir emik”. Siapakah yang menyampaikan konsep itu? Saya juga lupa!. Yang jelas konsep tersebut bermanfaat bagi saya pribadi dalam melihat permasalahan. Berfikir ahistoris (kalau saya tidak salah) adalah berfikir dengan melihat penyebab di balik masalah itu, sedangkan berfikir emik adalah berfikir dengan terlebih dahulu memahami bagaimana cara berfikir dari obyek yang kita kaji. Kita berfikir dengan sudut pandang mereka sehingga kita tahu alasan kenapa seseorang berperilaku seperti ini dan seperti itu, mungkin karena adanya masalah keluarga.

Baiklah, back to the topic. Jujur saya suka sekali dengan bahasan ini. Tentunya ada banyak sekali masalah keluarga, namun disini kita akan fokus pada 5 masalah keluarga dan dampaknya bagi anak.

5 Masalah Keluarga

Kata “masalah” adalah kata yang memiliki sense negatif. Saat kata ini dikaitkan dengan kata “keluarga”, berarti adanya rasa ketidaknyamanan dalam keluarga itu yang disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun 5 masalah keluarga yang umum terjadi adalah;

1.    Finansial

Seringkali, laki-kaki dan perempuan yang saling mencinta memutuskan untuk menikah. Padahal keduanya, atau pihak laki-laki belum berpenghasilan. Satu sampai dua bulan, masih adem ayem tidak ada masalah, namun saat pernikahan sudah masuk setengah tahun lebih, masalah mulai bermunculan. Kenapa? karena manusia hidup tidak hanya dengan cinta, tetapi juga dengan sokongan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan.

Paling tidak, harus ada persediaan keuangan setiap harinya untuk meng-cover absolute demand. Jika sudah dikarunai anak, kebutuhan pun bertambah. Belum lagi karakter pribadi baik pihak istri maupun suami yang cenderung boros. Nah, apa yang terjadi saat kebutuhan yang cenderung naik itu tidak diiringi dengan naiknya pendapatan yang diperoleh? Jadi masalah serius ‘kan pastinya? Terjadilah masalah keluarga dan cek cok pun tidak bisa dihindari.

2.    Keterbatasan komunikasi

Baiklah, saya setuju dengan konsep emansipasi dimana antara men and weman setara dalam hal mencari nafkah. Laki-laki berpangkat tinggi, perempuan tidak boleh kalah. Laki-laki duitnya banyak, perempuan pun juga. Oke, nggak ada masalah!.

Saat laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di luar, berangkat subuh-subuh, pulang larut malam,apa yang akan terjadi? Kapan mau komunikasi? Pulang-pulang tentu sudah capek!. Mama diajakin ngomong katanya “entar aja mau meeting”. Papa diajakin ngomong katanya “lo aja yang ngurus, bisnis gue lagi rame, nih!”. Lalu, kalau bukan masalah keluarga, apalagi yang akan terjadi?. Padahal kunci dari keharmonisan rumah tangga adalah komunikasi yang berjalan lancar.

3.    Intervensi mertua

Terkadang saya suka “dilemma” dengan problem keluarga yang satu ini. Misalkan saya pribadi sebagai seorang istri memegang konsep atau meyakini bahwa “anak laki-laki harus patuh pada ibunya, dan istri harus patuh pada suaminya”. Terkadang suka dilemma, antara prinsip yang di pegang dengan bagaimana sekiranya saat saya dihadapkan pada kondisi dimana mertua begitu mencampuri urusan rumah tangga (belum tentu kuat, hehe).

Kenapa mertua berperilaku demikian? Bisa jadi karena mertua merasa memiliki (wajar ‘kan, setelah anak dibesarin eh malah sekarang ikut istri atau ikut suaminya), dan bisa jadi karena ingin sengaja ingin mengatur. Meski seharusnya etika respect terhadap orang tua termasuk mertua harus dijunjung tinggi, namun masalah keluarga yang muncul karena alasan inipun tidak sedikit.

4.    Hadirnya orang ketiga

Permasalahan memang sebaiknya dilihat secara kontekstual, berdasarkan konteksnya. Disamping itu, seseorang yang dikata baik pekertinya adalah mereka yang memegang komitmen. Komitmen adalah janji dan janji adalah hutang. Komitmen untuk menikah tidak hanya saat mengucap “qobiltu” saja, akan tetapi seterusnya, selanjutnya, sampai maut memisahkan.

Nah, saat ini marak istilah pelakor yang identik dengan selingkuhan. Kenapa sampai muncul pihak ketiga, ada banyak sebab, baik itu berasal dari pribadi istri maupun pribadi suami. Yang jelas, kedatangan orang ketiga adalah masalah keluarga yang harus dicarikan jalan keluarnya.

5.    Perbedaan pendapat

Saya suka dengan pribahasa “diam itu emas”. Apalagi jika diamnya bertujuan untuk menghindari keinginan untuk menang dalam berbedat dan tidak ingin saling serang. Wow, pribadi seperti ini sungguh menentramkan apalagi saat menjadi pasangan kita.

Sayangnya, banyak pasangan suami istri yang secara pendidikan tinggi, secara pangkat bagus, secara material terpenuhi, namun masalah keluarga terjadi terus-menerus karena perbedaan pendapat. Bagi saya pribadi, membina keluarga ending-nya adalah ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangga. Jika yang satu ingin menang, yang lainnya ngalah dulu biar keluarga damai. Jika masalah keluarga ini terjadi terus-menerus, buah hati tercinta akan megalami imbasnya.

Dampak Bagi Anak

Keluarga adalah tempat belajar bagi anak-anaknya. Masalah keluarga seperti yang tersebut diatas yang dipertontonkan di depan anak-anak, akan berdampak buruk bagi mereka baik secara psikis maupun fisik.

1.    Dampak Psikis

Jika fisik bisa dilihat, psikis (meski bisa diprediksi) namun tidak bisa 100 persen kebenarannya. Anak-anak dengan masalah keluarga yang mendominasi hari-harinya cenderung labil secara emosi, mudah marah, brutal, dan juga mengalami inferiority complex, atau minder. Lain halnya dengan anak-anak yang hidup dalam keluarga yang harmonis dan penuh cinta, meski tidak berkelebihan secara materi namun mereka tenang dan menentramkan saat dilihat.

2.    Dampak Fisik

Anak yang didominasi masalah keluarga, tidak memiliki senyum yang lepas bebas, cenderung cemberut, merenung, dan kesulitan saat berinteraksi dengan teman-temannya.

Apakah kelima masalah keluarga diatas sama dengan yang pembaca alami saat ini? Yuk, cari solusi yang bijak sebagai orang tua agar keluarga jauh dari kata perpisahan, dan anak-anak nyaman secara psikis serta memiliki senyum yang lepas setiap harinya.

Baca juga

Peran anggota keluarga dalam menjaga nama baik keluarga

Iklan