makna keluarga bagi pembentukan karakter pribadi anak

 

Makna keluarga dalam pembentukan karakter pribadi anak sangat penting. Karakter positif dibentuk sejak dini melalui peran keluarga yang dominan. Sering kita dengar bahwa anak yang baru lahir ibarat kertas putih. Bagaimana kelak kepribadiannya di masa mendatang tergantung pada faktor dominan yang mempengaruhinya, yaitu keluarga.

Karakter yang baik perlu dibangun agar kelak si kecil lebih maksimal dalam menjalani hari-harinya, sebut saja dengan menanamkan karakter disiplin, karakter tanggung jawab, dan karakter positif yang lain.

Karakter positif yang mendarah daging itulah yang akan mempermudah memecahkan masalah yang dihadapi. Pun sebaliknya, bahaya karakter negatif yang dibiarkan sejak dini akan berpengaruh pada kualitas diri sehingga potensi yang besar pada diri anak tidak bisa dikembangkan, sebut saja karakter pemarah,  emosional, malas, egois, dan karakter negatif yang lain.

Sebagai orang tua, Anda tentu capai jiwa dan raga saat harus menghadapi karakter negatif yang dimiliki si kecil. Kenakalan di masa kecil sepertinya masih bisa dimaklumi.

Namun jika sudah memasuki fase remaja, kenakalan anak yang tidak bisa dikontrol berdampak buruk pada citra keluarga di mata masyarakat, kegagalan kita sebagai orang tua dalam mendidik anak, dan menjadikan masa depan anak tidak secerah anak-anak lain seusianya. Mari kita pahami makna keluarga untuk pembentukan karakter anak berikut ini agar buah hati tumbuh dengan karakter positif pada diri.

1.    Keluarga sebagai guru

Dalam tradisi jawa, kata “guru” memiliki makna yang dalam, yaitu “di gugu” dan “di tiru”. Kata “digugu” berarti “dipercaya” dan “ditiru” berarti “dicontoh. Ini berarti apa yang diucapkan dan dilakukan orang tua dipercayai dan dicontoh oleh anak. Singkatnya, dalam keluarga, orang tua berperan sebagai tauladan bagi anak. Anak pandai meng-imitasi apa yang ada di sekelilingnya. Mereka berkaca pada tingkah laku orang tuanya, dan pada pesan-pesan yang diucapkan orang tuanya.

Ucapan baik dan tingkah laku yang baik akan direkam dalam memory si kecil. Selanjutnya si kecil akan menirunya dalam tingkah laku sehari-harinya baik itu saat berinteraksi dengan keluarga di rumah atau saat sedang bermasyarakat. Jika di masa kecilnya anak-anak menyaksikan hal-hal negatif, semisal cara bicara yang kasar, sikap yang tidak sopan, interaksi sosial yang minim, besar kemungkinan si kecil akan melakukan hal yang sama dikemudian hari.

Saya pribadi suka dengan definisi iman, yaitu “diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan perbuatan”. Ada tiga unsur dalam kata iman yang bisa kita jadikan analog untuk menjadi “guru” yang diturut oleh anak-anaknya, yaitu orang tua harus yakin di dalam hatinya dalam mendidik anaknya, lalu mengucapkannya dan melakukannya agar anak mendapatkan contoh real dari apa yang kita sampaikan kepadanya.

Jangan sampai kita pandai memerintah dan melarang namun kita pribadi tidak melakukannya. Lambat laun wibawa sebagai orang tua akan turun dan besar kemungkinan menimbulkan perlawanan, entah itu dengan cara ngeyel, tidak menghiraukan, dan sebagainya yang menunjukkan sikap tidak respect.

Banyak orang yang pandai berteori namun enggan menerapkannya. Padahal antara ilmu dan amal harus seimbang, antara teori dan praktik harus balance. Proses pengajaran yang baik kepada anak harus disertai dengan praktik, seperti mengajari tentang teori ibadah, harus disertai dengan orang tua yang aktif menjalankannya. Inilah makna keluarga sebagai guru.

2.   Keluarga Menjadi Teman

“Belajar sambil bermain” adalah metode pengajaran yang menyenangkan. Mengajari anak-anak tentang karakter positif bisa dengan cara menjadi teman bermain bagi si kecil. Kita bisa ceritakan baik itu fiksi maupun nonfiksi di waktu senggang. Akan lebih menarik jika kita gunakan alat peraga untuk menceritakan tentang karakter-karakter yang baik, seperti para nabi,

tokoh-tokoh dalam dongeng yang jujur, disiplin, dermawan, dan sebagainya. Menggunakan alat peraga cocok sekali untuk tipe anak yang visual, dan audio visual. Namun untuk anak yang cepat menangkap secara audio saja, Anda bisa ceritakan dongeng sebelum tidur.

Atau, saat sedang bermain bersama anak-anak di halaman, dan mereka membuang sampah sembarangan, kita bisa contohkan membuang sampah di tempatnya. Tujuannya adalah agar si kecil bisa menyaksikan bahwa yang Anda contohkan itulah yang ideal, mereka akan meng-copy nya dalam ingatan dan mempraktikkannya di lain waktu.

Di momen-momen santai seperti itu Anda bisa mengajarinya tentang karakter pribadi yang harus dibangun dengan cara menjadi temannya terlebih dahulu.

3.   Keluarga Menjadi Hakim

Selanjutnya, makna keluarga bagi si kecil adalah sebagai hakim. Hakim disini bermakna sebagai pengambil keputusan. Kenapa demikian? Karena anak-anak masih belum bisa berfikir dewasa, secara usia belum matang, belum cukup pengalaman, lebih menuruti apa yang menjadi keinginannya, dan belum bisa berfikir jernih mengenai apa sebenarnya yang dia butuhkan. Selama anak belum dewasa dan belum mandiri, perlu ada keterlibatan penuh dari orang tua. Disini orang tua akan mengkaji apakah sesuatu itu baik atau buruk bagi anak ke depannya.

Lalu, apa yang bisa dipelajari si kecil dari pengambilan keputusan yang dilakukan oleh orang tua? Kelak saat mereka dewasa, mereka akan tau alasan dibalik pengambilan keputusan yang dilakukan orang tua di masa kecilnya. Ini akan menjadi referensi di masa mendatang.

Anak-anak merasa bahagia saat dituruti kemauannya, dan mereka akan marah besar saat dilarang untuk mendekati apa yang diinginkan. Makna keluarga sebagai hakim ini memang paradoksal, secara pribadi kita sebagai orang tua tidak ingin anak-anak sakit hati namun keputusan yang kita ambil itulah yang terbaik. Dan bagi anak-anak, larangan itu sangat menyiksa, manifestasi kekecewaannya dalam bentuk ngambek, nangis, mogok makan, nggak mau belajar dan sebagainya.

4.   Keluarga sebagai tim monitoring

Orang tua yang kompak akan bekerja sama untuk mengawasi si kecil dengan cara yang menyenangkan. Terlalu banyak larangan membuat si kecil bosan, dan tidak bisa berkembang. Terlalu dibiarkan maka si kecil akan liar jadinya. Sebagai orang tua, kita bisa sepakati batas-batas pengawasan kita.

Kapan anak-anak sebaiknya dibiarkan, dan kapan sebaiknya dikendalikan, seperti tarik ulur tali. Batasanya salah satunya adalah jika aktivitas yang dilakukan si kecil menyebabkan karakter negatif pada dirinya, serta membahayakan jiwanya. Sebaliknya, jika petualangannya meningkatkan kualitas diri, mari kita pantau dari kejauhan dan sesekali berikan apresiasi agar si kecil merasa dihargai. Perlu ada usaha untuk memahamkan si kecil atas larangan dan perintah yang kita berikan, agar si kecil bisa berfikir logis.

5.   Pengatur

Selain sebagai hakim yang membantu menentukan pilihan, orang tua memiliki hak prerogative  untuk mengatur anaknya. Terkesan agak sarkas memang kata “mengatur” yang digunakan. Namun mari kita lihat dulu siapa obyeknya. Disini obyek yang diatur adalah anak-anak yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk untuknya. Dan mereka pun belum tau bagaimana karakter yang baik untuk dilakukan dan mana yang sebaiknya dihindari.

Seorang ibu bisa saja tegas saat anaknya malas bangun pagi. Atau, saat si kecil enggan ke sekolah, ayah  bisa tegas memerintahkannya untuk meningkatkan karakter disiplinnya. Saat anak-anak seringkali merajuk, meminta ini itu, dan meminta diambilkan ini itu, kita bisa dengan tegas memandirikannya agar karakter dependen yang seperti ini tidak terulang kembali.

Biasanya, makna keluarga sebagai pengatur ini tidak disukai oleh si kecil. Karena apa? Karena secara innate manusia memiliki keinginan untuk bebas dan lepas dari banyaknya pembatas dan perintah. Gunakan bahasa-bahasa yang “cerdas” yang menggiring logika si kecil untuk berfikir bahwa pilihan Anda baik untuk mereka.

6.   Perangkul

Sudah merupakan hukum alam bahwa materi tidak bisa menggantikan kasih sayang orang tua. Saat anak jenuh dengan semua kesenangan material yang kita berikan, mereka akan meminta waktu luang kita untuk bersama-sama meski hanya sebentar saja.

Anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang super sibuk merasa kurang secara kasih sayang. Apalagi saat mereka merasa tertekan dengan perlakuan temannya di sekolah, kemana mereka akan kembali kalau tidak ke pelukan orang tuanya.

Disinilah peran penting keluarga sebagai perangkul. Makna keluarga adalah sebagai tempat yang menentramkan, yang terdapat sosok yang bijak di dalamnya, dan sebagai penyelesai masalah.

Nantinya, si kecil akan kembali mendapatkan harapannya untuk menjalani hari-harinya. Peran orang tua memang cenderung paradoksal, di satu sisi harus tegas, di sisi lain harus lembut dan penuh kasih sayang. Makna keluarga yang satu ini harus kita perhatikan agar jiwa anak tidak gersang dan selalu ingin kembali pada kita saat problematika melanda dirinya.

7.    Interaksi Sosial

Manusia memiliki dua peran penting dalam hidupnya, pertama adalah peran sebagai individu dan yang kedua adalah perannya sebagai makhluk sosial. Dua peran penting ini seyogyanya kita pahamkan kepada si kecil sejak dini.

Anak yang mandiri secara karakter akan tangguh menghadapi rintangan sebagai seorang individu, dan anak-anak yang pandai berinteraksi secara sosial memiliki kecerdasan interpersonal yang berpengaruh pada kesuksesannya di masa mendatang. Alangkah dahsyahtnya jika si kecil berkualitas secara individu dan secara sosial!

Kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersoanal harus bersinergi satu sama lain. Tentunya ini perlu dukungan dari keluarga tercinta dalam bentuk ilmu yang mencukupi dan tauladan dalam kehidupan sehari-hari agar anak bisa mencontoh bagaimana seharusnya sikap sebagai pribadi yang baik di masyarakat dan untuk dirinya sendiri.

8.   Ciptakan lingkungan yang baik

Antara teori dan praktik sebaiknya tidak ada jarak. Manusia yang bijak adalah mereka yang antara perkataan dan perbuatannya sinkron. Tentu kita pribadi merasa jengkel saat menghadapi seseorang yang pandai memberi nasihat namun praktiknya kurang. Untuk itu, mari kita ciptakan lingkungan keluarga yang positif dengan banyak memberi tauladan pada si kecil.

Anak-anak akan meniru apa yang kita lakukan, bagaimana cara kita bertutur, cara kita berinteraksi dengan sesama anggota keluarga, cara kita berhubungan dengan masyarakat, dan sebagainya.

Lingkungan keluarga yang baik akan berdampak baik pada pribadi anak dan lingkungan yang buruk pun akan berpengaruh sebaliknya. Tidak heran jika ada ungkapan “keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya”. Makna keluarga adalah sebagai pembentuk lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya karakter positif si kecil.

Baca juga

Deskripsi tentang keluarga dari berbagai sudut pandang

Iklan