Review Anime Girls Last Tour

Review Anime Girls’ Last Tour
Table of contents: [Hide] [Show]

Review Anime Girls Last Tour | Girls’ Last Tour, atau dikenal sebagai Shoujo Shuumatsu Ryokou, adalah salah satu anime yang berhasil menciptakan perpaduan unik antara depresi dan keindahan. Diproduksi oleh Studio White Fox pada musim gugur tahun 2017, anime ini mengajak penonton untuk menyusuri perjalanan dua gadis muda, Chito (“Chi”) dan Yuuri (“Yuu”), dalam dunia pasca-apokaliptik yang sunyi.

Review Anime Girls Last Tour

Detail Anime

  • Judul Inggris: Girls’ Last Tour
  • Judul Jepang: 少女終末旅行
  • Tahun: 2017
  • Musim: Gugur
  • Jumlah Episode: 12 ep. x 24 min.
  • Studio: White Fox

Cerita

Berbeda dengan kesan moe yang mungkin diharapkan dari judulnya, Girls’ Last Tour membawa penonton pada perjalanan yang penuh depresi. Cerita ini mengikuti Chi dan Yuu, dua gadis yang berusaha mencapai puncak sebuah kota raksasa yang terdiri dari lapisan-lapisan bangunan. Dalam perjalanan mereka, penonton diajak untuk menggali sisa-sisa peradaban manusia yang hancur dan merenung tentang arti kehidupan.

Salah satu kekuatan utama cerita ini terletak pada ketidaksesuaian antara kesan moe yang diberikan oleh karakter gadis-gadis muda dan realitas dunia pasca-apokaliptik yang mereka tempuh. Dialog dan kilas balik menjadi alat utama dalam menggambarkan penyebab kehancuran dunia ini, sementara kepribadian Chi dan Yuu mulai terungkap.

Konstruksi Dunia melalui Seni Visual

Girls’ Last Tour memberikan contoh sempurna mengenai betapa pentingnya seni visual dalam anime. Meskipun informasi tentang dunia ini diungkapkan secara bertahap melalui dialog dan kilas balik, penggunaan seni mampu secara instingtif menggambarkan kekosongan dan kekakuan dunia tempat Chi dan Yuu hidup.

Desain beton dan baja yang mendominasi pemandangan memberikan kesan totaliter dan tanpa harapan. Simbolisme baja yang evokatif terhadap palu dan sabit, lambang Rusia Soviet dan komunisme, sementara beton itu sendiri cenderung membosankan, keras, dan sulit berubah.

Selama perjalanan Chi dan Yuu, penonton akan menyadari bahwa warna dalam dunia ini sangat terbatas pada berbagai nuansa abu-abu dari salju putih hingga bayangan hitam. Kurangnya kehidupan menjadi salah satu penyebab, namun bahkan setelah mengurangi variasi biologis, keanehan tak ada iklan di antara jalanan yang ditinggalkan tetap terasa aneh.

Dalam dunia yang sedikit dihuni, warna-warna yang dianggap “menyenangkan” sepertinya tak pernah ada. Hal ini mengingatkan pada suasana di Korea Utara yang sering kali terlihat melalui liputan berita. Sementara tidak secolorless dunia Chi dan Yuu, Korea Utara juga minim akan iklan, dan banyak pejalan kaki di jalanan mengenakan jaket hitam atau abu-abu.

Bahkan di antara sedikit makhluk hidup yang ditemui Chi dan Yuu, organisme tersebut tampak lebih putih daripada yang kita kenal. Meskipun dapat dijelaskan sebagai hasil evolusi, hal ini memperkuat simbolisme dunia tanpa warna.

Baca Juga: Review Anime Code:Realize Guardian of Rebirth

Aspek Audio

Saya menikmati soundtrack Girls’ Last Tour, yang sering kali mencakup karya-karya klasik dan vokal yang mirip nyanyian keagamaan. Soundtrack tersebut memberikan nuansa yang cocok dengan setting dan adegan anime secara keseluruhan. Akting suara juga cukup kompeten, dengan pengisi suara veteran seperti Minase Inori sebagai Chito dan Hanazawa Kana sebagai Nuko.

Kesimpulan

Girls’ Last Tour adalah anime yang depresif namun memukau. Bagi mereka yang menyukai pengalaman yang mendalam dan tak biasa, anime ini bisa menjadi sebuah karya seni yang memukau. Meskipun begitu, kritik terhadap anime ini dapat muncul terutama dari mereka yang tidak begitu menikmati tema-tema yang penuh makna dan melankolis.

Dalam era anime di mana banyak yang terasa seperti upaya komersial, Girls’ Last Tour menonjol sebagai karya yang memperkuat argumen untuk diakui sebagai klasik.

Iklan