Tropes Anime yang Mengganggu yang Membuat Kita Merinding


Tropes Anime yang Mengganggu

Anime telah menjadi bagian dari budaya populer Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Anime telah menjadi hiburan favorit bagi banyak orang karena kisah-kisahnya yang menarik dan menantang. Namun, di balik kisah-kisah epik dan karakter-karakter yang disukai, ada beberapa tropes anime atau formula bersifat klise yang dulunya dianggap menyenangkan, namun kini menjadi menjengkelkan. Sebut saja seperti karakter cewek yang lemah yang selalu menangis, karakter cowok berperilaku badass yang selalu berteriak “Yosha!”, dan karakter pembantu yang selalu menang di saat-saat penting. Kali ini, kami akan mengulas lebih dalam tentang beberapa tropes anime yang membuat kita merinding.

1. Fanservice yang Berlebihan. Merupakan sebuah fakta bahwa femme fatale atau meganekko adalah salah satu karakter favorit di kalangan pria dalam dunia anime. Namun, beberapa anime sering menggunakan fanservice berlebihan dengan memperlihatkan adegan-adegan yang vulgar secara berlebihan ataupun dengan memperlihatkan pose-pose sensual yang dirasa tidak perlu pada beberapa karakter. Meskipun beberapa orang menikmati tontonan seperti itu, terdapat banyak orang yang merasa hal tersebut menjadi menjengkelkan dan mengganggu ritme cerita yang sedang berlangsung.

Menampilkan adegan yang tidak penting ini sering dijadikan sebagai gimmick atau trik oleh studio untuk menarik penonton. Namun pada kenyataannya, fanservice yang berlebihan justru merugikan kualitas cerita dan beberapa penonton merasa risih dan tidak bisa menikmati cerita dengan baik. Sebenarnya, bukan sebuah masalah untuk anime menunjukkan sesuatu yang sensual, namun seharusnya mengekspresikan hal itu secara proporsional dan terarah pada porsi yang tepat dan mengikuti karakter yang sedang dibangun dan tidak sekadar untuk menjadi pemanis pada sebuah adegan.

Fanservice yang tepat dapat menjadi elemen cerita yang menarik, namun jika berlebihan justru menjadi sebuah distraksi dan merugikan kualitas cerita. Alangkah baiknya jika para animator dan produser anime mempedulikan kualitas cerita sebelum memasukkan fanservice yang berlebihan.

Ketika Adaptasi Anime Merusak Materi Asli


anime kesal Indonesia

Adaptasi anime dari manga atau light novel menjadi salah satu jenis tontonan yang digemari oleh banyak orang di Indonesia. Namun, tidak selalu bahwa adaptasi anime tersebut bisa memberikan rasa puas kepada para penggemar. Ada beberapa kasus di mana adaptasi anime justru merusak materi asli yang sebenarnya. Berikut adalah beberapa contohnya.

Tidak Konsisten dengan Cerita Asli

Naruto

Banyak anime yang mengakibatkan kekesalan pada penonton karena ceritanya tidak konsisten dengan cerita asli. Misalnya pada anime Naruto, di mana banyak episode yang diisi dengan pertarungan di mana beberapa episode terakhirnya bisa terasa tidak nyambung dengan awal cerita tersebut, bahkan terlihat seperti suntikan sama sekali hingga membuat kesal para penonton yang merupakan penggemar manga bekuat Naruto.

Perubahan yang Terlalu Jauh dari Aslinya

Fullmetal Alchemist

Kasus selanjutnya adalah saat anime diadaptasi sedemikian rupa sehingga merubah jalan cerita atau karakter dari aslinya. Seperti pada anime Fullmetal Alchemist, di mana alur cerita dan karakter-karakternya dirubah menjadi “bersahabat” dan lebih ceria, hal ini sangat menyedihkan dan disayangkan karena anime Fullmetal Alchemist yang asli memiliki cerita yang sangat gelap dan serius.

Terlalu Banyak Filler

Bleach

Filler adalah sebuah episode yang dibuat oleh studio anime yang tidak ada di manga atau light novel. Pada beberapa anime, filler ini bisa menjadi malapetaka yang mana terlalu banyak filler tidak saja meninggalkan narasi asli, tetapi juga menghilangkan pesan yang seharusnya ingin disampaikan oleh cerita asli. Salah satu contohnya adalah anime Bleach, di mana terdapat banyak episode filler yang berulang-ulang pada cuplikan masa lalu para karakter, bahkan terkadang hal tersebut terlalu lama hingga menjadikan penggemar menjadi bosan dan kehilangan antusiasme dalam menontonnya.

Tidak Berhasil Menangkap Jiwa Asli

Death Note

Beberapa anime diadaptasi selain untuk menangkap cerita asli, juga untuk menangkap jiwa dari hal asli tersebut. Misalnya dalam anime Death Note di mana adaptasinya kurang mampu menangkap esensi dari manga Death Note. Meskipun plot dari cerita itu sama, tetapi atmosfir anime tersebut terlihat terlalu berbeda dengan aslinya.

Kesimpulannya, terlepas dari beberapa kegagalan adaptasi di atas, masih banyak anime yang melakukan adaptasi dengan baik dan benar-benar memenuhi keinginan para fans. Namun, para produser dan studio pembuat anime harus juga memikirkan motivasi dan harapan para penonton dalam melihat adaptasi tersebut. Sehingga, meski adaptasi tersebut terlihat lebih jauh dari aslinya, namun tetap bisa memenuhi ekspektasi para penonton dalam menikmati tontonan tersebut.

Penggunaan Fan Service dan Adegan Celana Dalam yang Berlebihan di Anime


Penggunaan Fan Service dan Adegan Celana Dalam yang Berlebihan di Anime

Setiap penggemar anime pasti pernah melihat adegan celana dalam yang biasa disebut dengan “panty shots” di anime kesukaan mereka. Namun, seiring dengan perkembangan anime di Indonesia, penggunaan fan service dan adegan celana dalam secara berlebihan di anime juga semakin sering terjadi.

1. Apa itu Fan Service?

Fan Service di Anime

Sebelum membahas lebih lanjut tentang masalah overuse fan service dan panty shots di anime, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu Fan Service. Fan service merupakan adegan atau peristiwa dalam serial atau film yang sengaja dimasukan untuk memuaskan hasrat para penggemar.

Contohnya, dalam anime, fan service biasanya dilakukan dengan menampilkan adegan tokoh perempuan yang sedang mandi atau sedang berganti pakaian. Selain itu, tampilan tubuh yang seksi, pose yang provokatif, dan gerakan-gerakan erotis juga seringkali dijadikan sebagai bagian dari fan service.

2. Penggunaan Fan Service dan Adegan Celana Dalam di Anime

Anime dengan Fan Service berlebihan

Banyak anime yang menggunakan fan service atau adegan celana dalam sebagai bagian dari plot cerita atau karakter tertentu.

Namun, seringkali ada anime yang menggunakan adegan fan service atau celana dalam secara berlebihan dan tidak penting. Bahkan, ada anime yang hanya mengandalkan adegan fan service dan celana dalam, tanpa memperhatikan kualitas cerita dan karakternya.

Hal ini tentu saja membuat sebagian penggemar merasa tidak nyaman. Apalagi jika kebanyakan adegan tersebut ditujukan untuk memuaskan hasrat para penggemar yang lebih suka dengan adegan seksual.

3. Dampak Penggunaan Fan Service dan Adegan Celana Dalam yang Berlebihan di Anime

Dampak Penggunaan Fan Service dan Adegan Celana Dalam yang Berlebihan di Anime

Penggunaan fan service dan adegan celana dalam yang berlebihan dapat mempengaruhi cara penyampaian pesan dan nilai moral dalam anime tersebut. Jika adegan tersebut digunakan secara tidak tepat, hal itu dapat menyebabkan dampak negatif bagi penonton, terutama bagi anak-anak.

Selain itu, penggunaan fan service dan adegan celana dalam yang berlebihan juga dapat menobatkan anime menjadi suatu yang bernuansa seksual. Akibatnya, banyak masyarakat yang melihat anime sebagai suatu yang tidak pantas atau kejam.

Hal itu tentu saja merugikan industri anime di Indonesia. Apalagi, pemerintah Indonesia sendiri mewajibkan tayangan tv untuk selalu menggunakan konten yang sehat dan mendidik. Jika penggunaan fan service dan adegan celana dalam masih dilakukan secara berlebihan, maka bisa saja kenaikan peminat anime di Indonesia menjadi terhambat.

Kesimpulannya, penggunaan fan service dan adegan celana dalam harus dilakukan secara tepat dan tidak berlebihan. Apalagi, jika anime ditujukan untuk ditonton oleh anak-anak. Hal itu bisa membantu memperbaiki citra buruk anime di Indonesia dan meningkatkan popularitasnya sebagai sarana hiburan yang sehat.

The Persistent Issue of Whitewashing in Anime and Manga


Anime Whitewashing

Anime and manga have become increasingly popular in Indonesia. However, there is an issue that persists in the industry, which is the whitewashing of characters in anime and manga. This is when non-white or non-Japanese characters are reimagined as white or Japanese characters. This practice has been controversial among fans and critics alike.

One reason why whitewashing is problematic is because it denies representation to people of color. The erasure of non-white character’s ethnicities reinforces the societal belief that only white people or Japanese people are main characters and heroes. This perpetuates the idea that people of color do not have a place in anime and manga, which can be harmful to the self-esteem of people who don’t fit into the mold of the typical anime or manga protagonist.

Another issue with whitewashing is that it reinforces stereotypes. When characters are whitewashed, they are often given stereotypical features associated with white people such as light skin, blonde hair, and blue eyes. This reinforces the idea that only white people can be beautiful or desirable, which can be harmful, especially to young viewers who may be internalizing these messages.

One example of whitewashing in anime is the live-action adaptation of “Fullmetal Alchemist.” In the manga, the protagonists are a mix of German and Japanese, but in the live-action adaptation, they are all played by Japanese actors. The whitewashing of the main characters, who were supposed to be German, erases the fact that the characters come from two different cultures. This decision made for the live-action adaptation angered fans who felt that the filmmakers had missed an opportunity to represent diversity in the movie.

Furthermore, whitewashing can also be seen in the character design of some anime and manga. For instance, in a lot of popular anime and manga, characters of color are designed with stereotypical features like big lips, curly hair, or dark skin. These design choices perpetuate harmful and offensive ideas about people of color and can be uncomfortable to watch for non-Japanese fans of anime.

In conclusion, the issue of whitewashing in anime and manga is complex, and it’s important to understand the reasons why it’s problematic. It reinforces harmful stereotypes and denies representation to people of color. As such, there is a need for more awareness of this issue and for more diverse representation of characters in anime and manga. Only then can we ensure that anime and manga are truly inclusive forms of media that represent all people, regardless of their ethnicity or cultural background.

Peran Gender Usang dan Berbahaya yang Digambarkan pada Karakter Anime


Peran Gender pada Karakter Anime

Di zaman modern ini, berbagai kebijakan dilakukan untuk mengurangi peran gender stereotipikal dan melawan diskriminasi gender. Namun, beberapa anime masih menggambarkan karakter yang terjebak dalam peran gender yang usang dan mengarah pada stereotip gender. Alih-alih berkontribusi pada pemikiran progressif tentang gender, gaya hidup, dan orientasi seksual, anime yang menggambarkan karakter dengan stereotip gender merusak pemahaman modern tentang masyarakat yang inklusif.

Berikut adalah contoh karakter anime dengan peran gender stereotipikal:

1. Gadis Pendiam yang Lemah

Gadis Pendiam yang Lemah Anime

Salah satu stereotip gender yang terkenal adalah bahwa perempuan selalu lemah dan malu-malu. Karakter perempuan anime seperti Hinata di Naruto atau Ui di K-On! adalah contoh nyata dari karakter yang menunjukkan stereotip gender ini. Mereka cenderung pendiam, pemalu, dan lemah. Selain itu, mereka sering digambarkan sebagai karakter inferior dan kesulitan untuk berbicara di depan orang banyak.

2. Cowok Macho yang Pemarah

Cowok Macho Anime

Di sisi lain, laki-laki sering digambarkan sebagai macho dan penuh amarah. Kekerasan dan agresi adalah tampilan dari laki-laki yang “sejati” dalam anime seperti Vegeta di Dragon Ball atau Jotaro di Jojo’s Bizzare Adventure. Dalam banyak kasus, macho digambarkan sebagai karakter yang lebih unggul dan lebih kuat daripada karakter lain, terutama perempuan. Selain itu, kekerasan dan agresi digambarkan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah.

3. Wanita Cantik yang Penuh Strategi

Wanita Cantik Anime

Selain peran gender “wanita lemah”, wanita sering digambarkan sebagai karakter yang manipulatif dan licik. Mereka juga sering digambarkan sebagai “wanita cantik” dalam anime. Karakter seperti Yuno Gasai dari Mirai Nikki dan Medusa dari Soul Eater adalah contoh dari wanita manipulatif dan licik. Stereotip gender ini digambarkan dalam banyak anime sebagai cara untuk mencapai keinginan mereka, kendatipun harus melanggar etika atau moral.

4. Laki-laki Berotot yang Terobsesi dengan Gadis

Laki-laki Berotot Anime

Stereotip gender lainnya terkait laki-laki dalam anime adalah mereka selalu terobsesi dengan gadis. Mereka sering digambarkan sebagai keramahan dan kesopanan yang berlebihan untuk mereka yang mereka sukai, dan kontradiktifnya, mereka juga terkadang tidak menghargai wanita yang kurang menarik. Karakter seperti Yamcha di Dragon Ball dan Jirousan di Chio-chan no Tsuugakuro adalah contoh dari stereotip gender ini.

5. Perempuan Hiper-seksualisasi

Perempuan Hiper-seksualisasi Anime

Karakter perempuan di anime cenderung dihamburkan dengan seksualitas dengan memperlihatkan bagian tubuh mereka dengan maksimal. Mereka sering digambarkan sebagai objek seksual dan tidak jarang mulai dari warna pakaian mereka hingga pose tubuhnya dirancang secara khusus. Meskipun beberapa anime seperti Kill-la-Kill dan Keijo !!, menyertakan tiang tanpa seksisme, sebagian besar menghamburkan tubuh karakter perempuan sebagai objek seksual dan melupakan kepintarannya dan kepribadian asli mereka.

Pada akhirnya, stereotip gender dalam anime dapat menghasilkan dampak yang besar dalam masyarakat. Terlepas dari apakah karakter anime memengaruhi pemahaman kita tentang gender dan masyarakat, sepupuk mereka tetap saja dengan peran gender yang usang dan berbahaya yang memberikan gambaran yang menyimpang dari nilai -nilai modern kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu mengkritik peran gender dalam media sehingga kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.

Iklan