Keterlaluan Kerja Keras


Keterlaluan Kerja Keras

Orang Jepang dikenal sebagai pekerja keras dan rajin, tetapi kadang-kadang ini berlebihan dan menjadi sifat buruk. Bahkan, bekerja sangat keras bisa menjadi norma yang sangat membebani kehidupan orang Jepang.

Ini dapat dilihat dari jam kerja yang sangat lama: rata-rata karyawan Jepang bekerja sekitar 60 jam seminggu, bahkan lebih pada beberapa pekerjaan. Banyak karyawan Jepang juga rela untuk melakukan lembur demi menyelesaikan tugas mereka, bahkan meskipun lembur tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan dan kehidupan pribadi mereka.

Meskipun pekerjaan selesai dan deadline terpenuhi, pekerjaan tak akan selesai sampai bosnya juga pulang. Ini disebut sebagai ‘mata-mata terang’, yaitu ketika karyawan tidak meninggalkan kantor sebelum bosnya pulang. Meskipun ini sebenarnya tidak diperintahkan bos, budaya korporat Jepang menganggap hal ini sebagai bentuk kesetiaan karyawan.

Keadaan ini telah menghasilkan fenomena baru yang disebut “karoshi”, yaitu kematian yang disebabkan oleh kelelahan. Ini terutama terjadi pada pekerja yang bekerja terlalu keras di kantor. Menurut survei dari Kementerian Kesehatan, Buruh, dan Kesejahteraan Jepang, kematian yang disebabkan oleh kelelahan pada tahun 2017 berjumlah 191 orang, dan sekitar 5,9% dari pekerja mengalami kelelahan kronis. Ini merupakan masalah serius dan perlu diperhatikan oleh pemerintah Jepang serta perusahaan-perusahaan besar.

Namun, tidak semua orang Jepang setuju dengan kebiasaan ini. Beberapa orang mengambil jalan keluar seperti meninggalkan kantor tepat waktu. Hal ini, tentu saja, menghasilkan tekanan sosial pada mereka, terutama jika teman sejawat mereka masih bekerja. Namun, mereka percaya bahwa kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas dengan waktu yang ditentukan lebih penting daripada memprioritaskan kantor di atas segalanya.

Jadi, sifat buruk “keterlaluan kerja keras” di Jepang tidak sepenuhnya berasal dari keinginan bekerja keras di antara karyawan, tetapi sebagian besar disebabkan oleh budaya korporat yang sulit diubah. Namun, lingkungan kerja di negara lain sedang mengamati dan mulai mengadopsi sistem kerja yang fleksibel dan mampu memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan kerja dan pribadi.

Penekanan Berlebihan pada Kesempurnaan


Sifat Buruk Orang Jepang: Penekanan Berlebihan pada Kesempurnaan

Orang Jepang dikenal memiliki sifat-sifat baik seperti sopan, rajin, dan disiplin. Namun, di sisi lain, mereka juga memiliki sifat buruk, salah satunya adalah penekanan berlebihan pada kesempurnaan atau “mieru me” dalam bahasa Jepang. Sifat ini banyak terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang, mulai dari lingkungan kerja hingga di rumah.

Penekanan berlebihan pada kesempurnaan membuat orang Jepang sangat detail dan teliti dalam segala hal yang mereka lakukan. Mereka menginginkan segala sesuatu harus dilakukan dengan sangat sempurna tanpa terkecuali. Namun, sifat ini seringkali membuat mereka menjadi perfeksionis yang berlebihan dan terlalu memikirkan detail kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Sifat ini juga membuat mereka tidak suka menggunakan cara yang praktis atau instan dalam menyelesaikan sesuatu. Mereka lebih memilih cara yang lambat dan teliti daripada cepat dan instan. Contohnya, ketika memasak sebuah hidangan, mereka akan mengambil waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan bahan dan memotongnya dengan sangat rapi. Mereka juga akan sangat fokus pada pengaturan hidangan di atas piring sehingga sangat rapi dan cantik.

Sifat penekanan berlebihan pada kesempurnaan ini seringkali menimbulkan masalah dalam berbagai situasi. Di tempat kerja, bisa membuat orang Jepang menjadi lebih lambat dalam menyelesaikan suatu tugas karena terlalu fokus pada detail kecil. Di rumah, sifat ini dapat membuat mereka menjadi sangat kritis terhadap diri sendiri dan keluarga, sehingga seringkali menimbulkan stres dan kecemasan.

Meskipun sifat ini memiliki sisi positif, yaitu dapat meningkatkan kualitas suatu produk atau karya, namun juga memiliki sisi negatif yang mempengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan dalam hidup agar tidak terlalu terjebak dalam sifat perfeksionis yang berlebihan.

Sebagai orang Indonesia, kita bisa mengambil hikmah dari sifat buruk penekanan berlebihan pada kesempurnaan yang dimiliki oleh orang Jepang. Kita bisa belajar untuk lebih santai dan fleksibel dalam hidup, dan tidak terlalu mengejar kesempurnaan yang tidak realistis. Kita juga bisa lebih menghargai waktu dan usaha yang kita keluarkan, bukan hanya hasil akhirnya saja.

Ketidakcakapan Berbahasa Asing


Ketidakcakapan Berbahasa Asing

Salah satu sifat buruk yang sering dikaitkan dengan orang Jepang di Indonesia adalah ketidakcakapan mereka dalam berbahasa asing, terutama dalam berbahasa Inggris. Hal ini memunculkan kesan mereka adalah sosok yang sulit diajak untuk berkomunikasi secara internasional. Padahal, menjadi komunikator yang baik dan menguasai bahasa asing adalah salah satu kunci penting dalam koneksi bisnis global.

Namun, sebenarnya, hal ini bukanlah kesalahan mereka. Dalam kurikulum pendidikan Jepang, bahasa Inggris diajarkan namun secara terbatas. Bahkan para guru bahasa Inggris di Jepang lebih fokus pada mengejar target dari keterampilan teknis mereka, ketimbang mengedepankan praktek penggunaan bahasa yang sebenarnya. Oleh karena itu, kebanyakan orang Jepang hanya menguasai bahasa Inggris secara pengetahuan dasar saja.

Ketidakcakapan berbahasa asing tidak hanya terjadi pada bahasa Inggris tetapi juga bahasa-bahasa lainnya. Sebagai contoh, di Indonesia, kebanyakan orang Jepang mengira bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah sama, padahal keduanya memiliki perbedaan baik dari segi kosakata, tatabahasa, dan penggunaan bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, ketika berkomunikasi dengan orang Jepang, perlu dapat mengenali kesalahan yang terjadi agar bisa memperbaikinya.

Namun, pada kenyataannya, ketidakcakapan dalam berbahasa asing bukanlah halangan bagi orang Jepang untuk sukses dalam berkarir di Indonesia. Beberapa pekerjaan di Indonesia bahkan lebih memerlukan keterampilan teknis daripada kemampuan berbahasa asing. Tidak hanya di lingkungan pekerjaan, orang Jepang juga dapat menjalin hubungan yang baik tanpa harus menguasai bahasa asing. Hal ini dapat dicapai melalui sikap terbuka dan mau belajar dari budaya asing.

Maka, sebagai orang Indonesia yang bersikap terbuka dan ramah, kita harus tetap membantu mereka yang belum terlalu lancar berbahasa Indonesia. Bukan dengan mengolok-olok atau menertawakan kesalahan pengucapan mereka. Kita dapat membantu mereka dengan cara mencoba memberikan pengertian, serta memberikan contoh penggunaan bahasa yang benar.

Dalam kesimpulannya, ketidakcakapan berbahasa asing pada orang Jepang di Indonesia merupakan sifat buruk namun bukanlah masalah besar. Orang Jepang tetap dapat menjalin hubungan baik dengan orang Indonesia melalui sikap terbuka dan mau belajar dari budaya asing. Dalam konteks bisnis, ketidakcakapan berbahasa asing hanya membutuhkan solusi dengan cara dapat mengatasi masalah atau mencari seseorang yang dapat membantu mereka dalam berkomunikasi dengan benar. Oleh karena itu, kita harus bersikap ramah dan membantu mereka dengan mengedepankan kepentingan bersama.

Iklan