Asal Usul Nanyoubi dalam Budaya Jepang


Nanyoubi in Japan

Nanyoubi atau hari gender adalah istilah yang biasa digunakan di Jepang untuk menunjukkan bahwa ada hari di mana orang percaya bahwa sifat dan karakteristik gender dapat mempengaruhi peruntungan manusia. Hari ini, biasanya dihitung dengan menggunakan sistem kalender tradisional Jepang yang disebut kalendar enam puluh siklus atau rokuyo. Nanyoubi diperkirakan telah ada sejak jaman kuno di Jepang, tetapi hingga saat ini, masih digunakan dan dipercayai oleh banyak orang.

Menurut sejarah, asal usul nanyoubi dapat ditelusuri hingga kebudayaan Tionghoa kuno di mana mereka mempercayai bahwa tiga elemen penting – langit, bumi, dan manusia, saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam pandangan tersebut, manusia dapat mempengaruhi bumi, bumi mempengaruhi langit, dan langit dapat mempengaruhi manusia. Oleh karena itu, nanyoubi yang dipercayai oleh orang Jepang juga memiliki kaitan dengan siklus alam dan astronomi.

Nanyoubi adalah salah satu cara orang Jepang untuk memprediksi peruntungan mereka dan menentukan hari yang baik atau buruk untuk melakukan sesuatu, seperti melangsungkan upacara pernikahan, mengadakan acara penting, atau merencanakan perjalanan jauh. Berdasarkan tradisi, di hari dengan sifat feminin atau nanyoubi, seperti Senin, Kamis, atau Sabtu, disarankan untuk melakukan kegiatan yang bersifat feminin, menjaga kamar mandi atau memasak. Sedangkan di hari dengan sifat maskulin atau otokoyoubi, seperti Selasa, Jumat, atau Minggu, disarankan untuk melakukan kegiatan yang memiliki sifat maskulin, seperti memotong rambut atau memperbaiki atap rumah.

Perhitungan nanyoubi pada awalnya dibuat berdasarkan siklus bulan dan matahari, tetapi kemudian berkembang menjadi sistem yang memperhitungkan pergerakan bintang-bintang, seperti zodiak Cina. Sistem ini menjadi populer pada abad ke-19 ketika orang Jepang mulai menggabungkan aspek astrologi Cina ke dalam nanyoubi mereka. Kepercayaan bahwa peruntungan manusia dipengaruhi oleh faktor luar ini masih kuat dipercaya oleh orang Jepang hingga saat ini.

Selain sebagai penentu peruntungan, nanyoubi juga berkaitan dengan budaya Jepang secara keseluruhan. Karena kepercayaan kuat bahwa peruntungan manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, masyarakat Jepang memiliki kecenderungan untuk memperhatikan detail dan menjaga harmoni. Hal ini tercermin dalam bentuk seni dan kerajinan seperti origami, permainan catur Jepang (shogi), atau bahkan dalam etiket berbicara bahasa Jepang.

Demikianlah asal usul nanyoubi dalam budaya Jepang yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Bangsa Jepang sangat memegang kepercayaan bahwa sifat dan karakteristik gender dapat sangat mempengaruhi peruntungan manusia, sehingga wajar jika nanyoubi masih menjadi bagian dari budaya Jepang hingga saat ini.

Signifikasi hari nanyoubi bagi masyarakat Jepang


nanyoubi

Hari Nanyoubi atau Jumat adalah salah satu hari penting bagi masyarakat di Jepang. Seperti yang kita tahu, Jepang mempersembahkan banyak perayaannya untuk menandai peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia, musim, dan alam. Begitu juga dengan Nanyoubi, satu-satunya hari di mana orang Jepang merayakan “Hari Wanita” atau “Venus Day”.

Ketika kita berbicara tentang Nanyoubi, kata yang paling sering terdengar mungkin adalah “Bi” yang berarti hari atau tanggal dalam bahasa Jepang. Namun, asal usul dari kata “Nanyoubi” berasal dari bahasa China. Pada abad ke-9, masyarakat China menyebut hari Jumat dengan “jinmu” yang merupakan bahasa lisan China lama untuk dewa wanita. Orang Jepang yang menjalin hubungan baik dengan China pun mengadopsi istilah “jinmu” menjadi “Kinyobi” untuk hari Jumat, dan kemudian berubah menjadi “Nanyoubi”.

Seiring berjalannya waktu, Nanyoubi bertahan sebagai hari istimewa di Jepang, dan banyak orang Jepang merayakannya dengan cara yang beragam. Berikut adalah beberapa cara bagaimana masyarakat Jepang merayakan Nanyoubi:

Mengucapkan “Ohisashiburi desu ne”

Menurut budaya Jepang, jika kamu tidak mendengar kabar atau bertemu seseorang dalam waktu yang lama, kamu dapat mengatakan “Ohisashiburi desu ne” yang berarti lama tidak bertemu. Hal ini juga berlaku ketika orang Jepang bertemu wanita pada hari Nanyoubi. Jika kamu bertemu wanita yang sudah lama tidak bertemu, kamu dapat menyapa mereka dengan pernyataan ini sambil menunjukkan rasa kagum pada penampilan mereka yang cantik.

Mengirim ucapan selamat

Nanyoubi juga merupakan hari di mana para pria memberikan ucapan selamat pada wanita yang mereka sayangi seperti ibu, saudara perempuan, atau pasangan mereka. Kadang-kadang, mereka memberikan hadiah untuk mengekspresikan rasa sayang dan penghargaan mereka pada wanita.

Memotong rambut

Ada sebuah kepercayaan di Jepang bahwa merawat dan memotong rambut pada hari Nanyoubi dapat membuat rambut tumbuh lebih cepat dan sehat. Itulah sebabnya salon kecantikan di Jepang sering sekali penuh sesak pada hari Nanyoubi. Bahkan di kawasan pedesaan pun, banyak salon kecantikan yang memperkenalkan paket khusus untuk pasangan atau keluarga yang ingin merayakan Nanyoubi dengan mempercantik diri mereka.

Menikmati makanan khusus

Tidak hanya salon kecantikan yang menawarkan paket khusus untuk Nanyoubi, restoran-restoran di Jepang pun menawarkan hidangan spesial yang hanya tersedia pada hari Jumat. Beberapa restoran menyajikan hidangan yang dianggap mampu memperkuat kecantikan, seperti kudapan permen manis, kue-kue, atau minuman teh herbal.

Selain itu, perayaan Nanyoubi juga menjadi saat yang tepat bagi banyak masyarakat Jepang untuk berkumpul dan berbincang-bincang, atau bahkan mendiskusikan topik-topik yang lebih serius seperti politik atau ekonomi.

Itulah beberapa cara bagaimana masyarakat Jepang merayakan Nanyoubi. Namun, meskipun perayaan Nanyoubi telah menjadi bagian dari budaya Jepang, tidak semua orang merasa nyaman dengan perayaan ini. Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa Nanyoubi terlalu mengutamakan aspek kecantikan wanita, dan bahwa semua wanita harus diperlakukan dengan setara dan tidak hanya dinilai berdasarkan penampilan fisik mereka.

Namun, pada akhirnya, meskipun perayaan Nanyoubi terdengar kuno atau bahkan konyol bagi sebagian orang, tidak dapat disangkal bahwa perayaan ini menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Jepang.

Tradisi dan kegiatan yang dilakukan pada hari nanyoubi


Nanyoubi Indonesia

Nanyoubi, yang dikenal sebagai hari Sabtu, memiliki makna penting dalam budaya Indonesia yang kaya dan beragam. Tradisi dan kegiatan yang dilakukan pada hari Nanyoubi membantu memperkaya tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Pada hari ini, ada beberapa tradisi dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk merayakan hari Sabtu.

Pasar Sabtu


Pasar Sabtu

Salah satu kegiatan utama yang dilakukan pada hari Sabtu adalah pasar sabtu di mana para pedagang kecil dan besar menjual barang dagangan mereka di daerah tertentu. Pasar Sabtu juga dikenal sebagai pasar tradisional, dan ini menjadi kegiatan penting untuk menjaga langgengnya pasar tradisional Indonesia hingga saat ini.

Pada pasar sabtu, biasanya para pedagang membawa produk hasil pertanian, ikan, daging, rempah-rempah, kain, alat rumah tangga, baju, dan lain-lain. Kamu juga akan menemukan jajanan khas Indonesia seperti bakso, mie ayam, soto, dan masih banyak lagi. Pasar Sabtu di Indonesia juga menampilkan tarian tradisional dan kegiatan seni lainnya untuk menghibur para pembeli dan pengunjung.

Tahlilan


Tahlilan

Tahlilan juga menjadi salah satu tradisi atau kegiatan pada hari Nanyoubi. Tradisi ini sendiri berasal dari budaya Jawa, yang cukup populer di masyarakat muslim Indonesia. Pada kegiatan tahlilan biasanya diadakan doa bersama, mengenang orang yang telah meninggal atau sedekah untuk orang yang dahulu sudah meninggal. Kegiatan ini biasanya diadakan pada sore hari menjelang magrib dan diikuti oleh banyak orang.

Hal yang sering dilakukan dalam kegiatan tahlilan biasanya juga melantunkan dzikir dan beberapa surah dari Al-Quran. Kegiatan tahlilan sendiri biasanya dilakukan di tempat-tempat umum seperti masjid, mushola, halaman rumah, atau di tempat pemakaman.

Ngabuburit


Ngabuburit

Ngabuburit adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya menunggu adzan magrib. Biasanya, kegiatan ngabuburit dilakukan sebelum berbuka puasa atau melakukan kegiatan tahlilan. Orang menjalankan kegiatan ini dengan cara menghabiskan waktu dengan melakukan kegiatan yang disukai seperti bermain sepak bola, bermain game, nonton televisi dan kegiatan lainnya.

Kegiatan ngabuburit biasanya banyak dilakukan oleh anak muda, pelajar, dan juga orang dewasa. Kegiatan ini merupakan budaya Indonesia yang harus tetap dijaga agar tidak hilang begitu saja.

Dengan adanya tradisi dan kegiatan yang dilakukan pada hari Nanyoubi, membuat hari Sabtu menjadi hari yang lebih meriah dan berwarna. Sebagai masyarakat Indonesia yang bangga dengan budaya dan tradisi, kita harus menjaga agar semua tradisi dan kegiatan pada hari Nanyoubi terus terjaga dan dilestarikan hingga generasi mendatang.

Perayaan besar pada hari nanyoubi di Jepang


Perayaan nanyoubi di Jepang

Hari nanyoubi atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Sabtu Legi, adalah salah satu hari penting yang diperingati di Jepang. Biasanya, setiap hari nanyoubi diadakan perayaan besar-besaran di seluruh negeri, untuk merayakan keberhasilan dan kesuksesan yang diraih pada minggu sebelumnya.

Perayaan pada hari nanyoubi sebenarnya sudah ada sejak zaman Edo, yang dipengaruhi oleh tradisi Tionghoa, dimana pada hari tersebut merupakan hari penuh makna dan simbolis. Di Jepang, perayaan nanyoubi juga memiliki makna yang cukup penting bagi masyarakat, dan dirayakan dengan cara yang berbeda-beda di setiap wilayahnya.

Momiji Matsuri

Momiji Matsuri

Di daerah Kansai, perayaan pada hari nanyoubi dengan momiji matsuri sangatlah terkenal. Momiji matsuri adalah perayaan musim gugur dengan tema daun maple, yang identik dengan perubahan musim gugur. Pada momiji matsuri, banyak sekali orang yang berkumpul dan berpartisipasi dalam festival budaya, seperti tari dan musik tradisional, serta menikmati keindahan pemandangan daun maple yang berwarna merah kekuningan.

Shichi-go-san

Shichi-go-san

Pada hari nanyoubi, juga terdapat tradisi shichi-go-san yang khusus dipersembahkan kepada anak-anak berusia 3 tahun, 5 tahun, dan 7 tahun. Anak-anak yang berusia tersebut akan secara resmi dikirimkan kepada kuil untuk membuat doa dan berterima kasih atas kesehatan dan kelancaran hidup mereka. Selain itu, perayaan ini juga dilakukan untuk melambangkan kelahiran anak-anak sebagai proses penting dalam kehidupan seorang anak di Jepang, sehingga perayaan ini sangat penting bagi orang tua dan keluarga dalam menghargai kemajuan anak-anak mereka.

Chugen

Chugen

Chugen adalah salah satu tradisi pada hari nanyoubi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang. Pada chugen, orang-orang akan memberikan hadiah kepada teman, keluarga, dan kerabat sebagai tanda terima kasih atas kerja sama dan kesetiaan mereka. Hadiah yang diberikan biasanya berupa kue tradisional, minuman, dan pakaian. Hal ini memunculkan rasa syukur antar satu sama lain dan saling menguatkan ikatan sosial.

Bunka no Hi

Bunka no Hi

Pada hari nanyoubi, juga terdapat perayaan budaya nasional Jepang yang disebut Bunka no Hi. Bunka no Hi adalah hari libur nasional yang diperingati untuk merayakan kehabisan kaisar Meiji pada tahun 1912. Perayaan ini memberikan kesempatan kepada orang-orang Jepang untuk mengekspresikan dan mengapresiasi kebudayaan mereka yang dibangun selama bertahun-tahun. Banyak kegiatan yang diadakan selama perayaan ini, seperti pertunjukan seni tradisional dan modern, pameran karya seni, musik tradisional dan modern, serta parade oleh masyarakat lokal

Bagi masyarakat Jepang, hari nanyoubi mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupannya. Perayaan pada hari nanyoubi pun tidak sekadar hura-hura semata, melainkan juga dimaknai sebagai momen untuk bersyukur dan membangun solidaritas sosial antaranggota masyarakat. Selain itu, perayaan ini juga memperlihatkan kekayaan budaya Jepang, yang unik dan khas.

Perubahan dan Adaptasi Perayaan Nanyoubi dalam Budaya Jepang Modern


Perubahan dan adaptasi perayaan nanyoubi dalam budaya Jepang modern

Nanyoubi, which translates to Women’s Day, is a holiday that originates from Japan and is celebrated on March 3 every year. This day is dedicated to celebrating the health and happiness of girls and young women. It is a day where families pray for the prosperity and well-being of their daughters. In Japan, this occasion is also known as Hina Matsuri, which translates to Doll Festival.

In Indonesia, the celebration of Nanyoubi is not widely known. However, the holiday has recently gained popularity among Japanese communities in the country, and they have adapted the celebrations to fit with the modern era’s changes and trends. The following are some of the changes and adaptations that have been made to the traditional celebration of Nanyoubi.

1. Shift in the presentation of dolls – In Japan, the main attraction of the Hina Matsuri celebration is the display of dolls called hina ningyo. These dolls represent the emperor, empress, attendants, and musicians in traditional Japanese clothing. However, in Indonesia, the presentation of these dolls has changed to fit with the modern era. Nowadays, the dolls are not just made from traditional materials like fabric and wood. Still, they can also be made from plastic, and some of the dolls’ clothes are modeled after the latest fashion trends.

2. Incorporation of Indonesian culture – Japanese communities in Indonesia have started to incorporate Indonesian cultures into their Nanyoubi celebrations. For example, on Nanyoubi, Indonesian sweets are served alongside traditional Japanese sweets like mochi and hishi mochi. Also, the decoration of the dolls’ display area is done using traditional Indonesian textiles instead of Japanese textiles.

3. Social media exposure – With the rise of social media, the celebration of Nanyoubi has gained more exposure in Indonesia. Japanese communities in the country share their Nanyoubi celebration preparations and activities on social media platforms like Instagram, Facebook, and Twitter. Additionally, some Japanese influencers in Indonesia also share their Nanyoubi experiences with their followers to spread awareness.

4. Inclusion of boys – In Japan, the Hina Matsuri celebration is predominantly for girls. Still, in recent times, the celebration has started to become more inclusive, including boys. Japanese communities in Indonesia have also adopted this change, and they encourage both young boys and girls to participate in the Nanyoubi celebration.

5. Virtual celebrations – Due to the COVID-19 pandemic, the celebration of Nanyoubi in Indonesia has shifted to virtual celebrations. Japanese communities in the country have organized virtual events to celebrate the holiday, such as doll-making workshops and cooking traditional sweets like mochi. This adaptation has allowed people to celebrate the holiday while still adhering to social distancing protocols.

In conclusion, the celebration of Nanyoubi in Indonesia has undergone changes and adaptations to fit with the modern era. Japanese communities in the country have incorporated Indonesian cultures, shifted from traditional doll presentations, become more inclusive, embraced social media platforms, and adapted to virtual celebrations. These changes have allowed the celebration of Nanyoubi to gain more exposure and appeal to a wider audience while still maintaining its essence.

Iklan