Koto, Alat Musik Seni Tradisional Jepang


Koto, Alat Musik Seni Tradisional Jepang

Koto adalah salah satu alat musik seni tradisional Jepang yang dipetik dan merupakan alat musik nasional Jepang. Dalam bahasa Jepang, alat musik koto ditulis sebagai 箏 dan dibentuk dari 13 hingga 17 senar yang terbuat dari sutra halus yang dijepit antara dua dudukan kayu persegi panjang. Alat musik tradisional ini sangat populer di antara banyak budaya di Jepang.

Sebelum diperkenalkan di Jepang, alat musik koto berasal dari Cina pada masa Dinasti Tang dan dikenal dengan nama guzheng. Namun, sejak dibawa ke Jepang pada abad ke-7, perkembangan alat musik ini berbeda dengan guzheng. Koto lebih banyak dimainkan dalam pengiring musik, baik untuk lagu dan tarian tradisional zaman Edo.

Kebanyakan penggemar musik yang ingin memainkan koto memulai dengan mempelajari trik dasar. Koto umumnya memainkan nada di antara 13 hingga 17 senar melalui tehnik pick yang ditanam di antara jari-jari kiri. Ada sembilan petunjuk untuk memainkan koto, yang memungkinkan pemain memahami bentuk alat musik dan kinerja teknis yang benar dari suara.

Koto bisa dimainkan dalam berbagai genre musik, termasuk klasik, pop, jazz, dan rock. Para pemain koto sering tampil pada festival musik nasional Jepang, seperti Kyoto International Music Festival dan National Koto Competition. Contoh paling terkenal dari karya-karya koto termasuk komposisi oleh Yatsuhashi Kengyo dan Michio Miyagi.

Bagi para penggemar musik tradisional Jepang, alat musik koto sangat penting. Seiring waktu, popularitas koto meningkat terus menerus. Saat ini, ada sekolah khusus untuk belajar memainkan koto. Alat musik koto telah menjadi salah satu ekspor budaya paling populer dari Jepang ke seluruh dunia.

Jadi, jika anda tertarik dengan budaya Jepang dan ingin mencoba memainkan alat musik lokal, mengapa tidak mencoba koto? Dengan beberapa latihan, anda bisa memperoleh keterampilan untuk memainkan alat musik tradisional Jepang ini, dan merasakan suara indah yang dihasilkan.

Shamisen


Shamisen

Shamisen adalah salah satu alat musik asli Jepang yang terkenal di seluruh dunia. Alat musik tradisional ini memiliki tiga senar dan dimainkan dengan menggunakan sejenis plektrum kecil yang disebut bachi. Shamisen terbuat dari bahan kayu dan kulit hewan dan memiliki bentuk seperti gitar dengan ukuran yang lebih kecil. Dalam budaya Jepang, shamisen sering dimainkan sebagai musik pengiring untuk penyanyi atau penari geisha yang tampil di hadapan para tamu.

Shamisen sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang dan akar budayanya dapat ditelusuri hingga abad ke-16. Pada saat itu, shamisen biasa dimainkan oleh kelompok-kelompok pendekar pedang samurai. Namun, pada akhir abad ke-17, shamisen mulai populer di kalangan rakyat biasa dan digunakan untuk mengiringi pertunjukan teater tradisional Jepang seperti kabuki dan bunraku.

Hingga saat ini, shamisen masih sangat populer di Jepang dan banyak digunakan dalam berbagai jenis musik tradisional seperti min’yo, nagauta, dan jiuta. Selain itu, shamisen juga sering digunakan dalam penggarapan musik modern Jepang dan bahkan telah menyebar ke luar negeri dan menjadi inspirasi bagi banyak musisi internasional.

Alat Musik Asli Ryukyu


Alat Musik Asli Ryukyu

Alat musik asli Ryukyu adalah sekelompok alat musik yang berasal dari wilayah Ryukyu di selatan Jepang. Wilayah ini terdiri dari beberapa pulau kecil yang terletak antara Jepang dan Taiwan. Alat musik tradisional Ryukyu memiliki gaya unik dan menarik karena dipengaruhi oleh budaya-budaya yang berkembang di wilayah tersebut, seperti budaya Jepang, Cina, dan Okinawa.

Beberapa alat musik asli Ryukyu yang terkenal antara lain adalah sanshin, biwa, dan koto. Sanshin adalah alat musik yang mirip dengan shamisen, namun memiliki dua senar lebih sedikit. Alat musik ini biasanya dimainkan dengan menggunakan bachi, persis seperti shamisen. Biwa adalah alat musik yang mirip dengan gitar dengan enam senar dan memiliki bentuk yang agak melengkung. Sedangkan koto adalah alat musik seperti kecapi yang juga memiliki enam belas senar.

Alat musik asli Ryukyu sering dimainkan dalam berbagai acara atau festival di seluruh Jepang. Mereka juga sering ditampilkan dalam pertunjukan budaya tradisional Ryukyu seperti Ryukyu buyo (tarian tradisional Ryukyu) dan Ryukyu koten geinoh (teater tradisional Ryukyu).

Keunikan dari alat musik asli Ryukyu tidak hanya terletak pada bentuk dan suara, namun juga pada para pemainnya yang biasanya mengenakan kostum tradisional Ryukyu saat tampil. Kostum tersebut sering kali dipercantik dengan berbagai hiasan seperti kain warna-warni dan topi bulu yang indah.

Secara keseluruhan, alat musik asli Ryukyu adalah bagian yang sangat penting dari warisan budaya Jepang. Mereka mampu menunjukkan kekayaan seni dan budaya yang terdapat di wilayah Ryukyu dan memberikan gambaran yang jelas tentang keragaman yang ada di dalam budaya Jepang itu sendiri.

Biwa, Alat Musik dari Era Kuno Jepang


Biwa

Biwa adalah alat musik tradisional dari Jepang yang populer di zaman kuno dan dikenal sebagai salah satu alat musik yang dipetik yang paling tua di dunia. Alat musik ini pertama kali diperkenalkan dari negara China sekitar era Nara (710-794) dan lalu menjadi alat musik yang populer di kalangan biarawan Buddha dan pengembara profesional di seluruh Jepang.

Biwa terdiri dari semua bahan alami dengan bentuk yang mirip dengan gitar. Ada berbagai jenis biwa di Jepang; bagaimanapun, jenis yang paling umum adalah biwa sitar. Biwa sitar memiliki empat senar yang terbuat dari kapas, dan serat sutra memelintir di sekitar jari-jari pemain. Yang menarik, bunyi alat musik ini terinspirasi oleh suara burung ini. Suara alat musik ini sedih dan melankolis, membuatnya menjadi alat musik yang sangat termotivasi.

Selama berabad-abad, biwa digunakan dalam berbagai macam karya seni dan ritual di Jepang. Pada masa lalu, musisi biwa adalah pengembara profesional yang berkeliling Jepang untuk mendapatkan hidup mereka dengan memainkan musik di jalanan, dipanggil sebagai biwa hoshi. Mereka biasanya akan memainkan musik di depan kuil atau rumah pengunjung untuk menerima sedekah dalam bentuk uang dan makanan.

Selain sebagai alat musik, biwa juga sering digunakan dalam teater tradisional Jepang, seperti Bunraku dan Noh. Pada teater Noh, biwa dimainkan oleh pengiring musik yang duduk di atas panggung dekat dengan penonton. Musiknya memberikan nuansa dramatis pada adegan yang sedang diiringi dan menambah kesan sakral dan megah pada pertunjukan Noh.

Tak hanya sebagai benda seni yang berharga, biwa juga memiliki pengaruh yang kuat pada sejarah Jepang. Pada 1185, seorang biwa hoshi bernama Benkei membantu Minamoto no Yoshitsune untuk mengamankan kemenangan dalam Pertempuran Ichinotani. Di antara jumlah tentara yang kurang, Minamoto no Yoshitsune dan Benkei berhasil mendorong kekalahannya dan menerobos barikade pasukan Heike yang kuat.

Saat ini, biwa masih tetap populer di Jepang, menjadi salah satu alat musik yang paling terkenal di negara ini. Banyak pemain biwa yang masih mempertahankan tradisi ini dan terus memainkan musik dalam berbagai perlombaan dan acara di seluruh Jepang. Dengan keindahannya dan sejarahnya, biwa adalah alat musik yang sangat dihargai di Jepang dan berfungsi sebagai kebanggaan nasional di antara banyak orang.

Sangen, Alat Musik dari Perkembangan Era Edo


Sangen

Alat musik tradisional Jepang yang dipetik yang berasal dari zaman Edo adalah Sangen. Sangen terbuat dari kayu dan memiliki tiga senar. Sangen memiliki panjang sekitar 100 centimeter dan lebar 20 centimeter. Alat musik ini awalnya dipopulerkan oleh Senju Hashimoto, seorang musisi terkenal pada masa itu. Alat musik ini sangat populer pada masa awal dibuatnya dan masih dimainkan sampai saat ini.

Sangen adalah alat musik yang cukup sulit dimainkan karena harus memetik tiga senar sekaligus. Namun, suara yang dihasilkan sangat merdu dan khas. Sangen biasanya dimainkan dalam aliran musik tradisional Jepang, seperti gagaku dan shin noh. Alat musik ini juga sering dimainkan dalam festival tradisional Jepang.

Meskipun umumnya dimainkan sebagai alat musik solo, Sangen sering juga dimainkan dalam grup, yang terdiri dari beberapa musisi. Grup musik Sangen sering tampil pada acara-acara resmi di Jepang dan di seluruh dunia.

Sangen menjadi semakin populer pada masa itu karena orang-orang di Edo mulai memiliki lebih banyak waktu untuk bermain dan menikmati kesenian, seperti musik. Sangen turut memperkaya seni tradisional Jepang, yang hingga kini masih terus dipelajari dan dijaga keasliannya. Para penerus seni Sangen juga terus berusaha untuk memperkenalkan alat musik ini ke masyarakat di seluruh dunia. Diharapkan bahwa keberadaan Sangen’ tetap lestari dan terus mewarnai budaya dan seni musik tradisional Jepang yang indah.

Sangen dimainkan

Dalam sejarah perkembangan Sangen, alat musik ini telah mengalami beberapa perubahan. Satu dari perubahan tersebut adalah bentuk yang lebih kecil daripada sebelumnya, agar lebih mudah dimainkan. Pada saat ini, terdapat berbagai jenis Sangen yang berbeda, tergantung dari jenis musik yang dimainkan. Ada juga jenis Sangen modern yang telah disesuaikan dengan aliran musik modern.

Kesimpulannya, Sangen adalah salah satu alat musik tradisional Jepang yang dipetik, memiliki tiga senar dan diciptakan pada masa perkembangan Edo. Alat musik ini awalnya dipopulerkan oleh Senju Hashimoto, seorang musisi terkenal pada masa itu. Suara yang dihasilkan sangat merdu dan Sangen biasanya dimainkan dalam aliran musik tradisional Jepang, terutama dalam kesenian seperti gagaku dan shin noh. Sangen menjadi semakin populer karena orang-orang di Edo memiliki lebih banyak waktu untuk bermain dan menikmati kesenian, seperti musik. Dalam sejarah perkembangan Sangen, alat musik ini telah mengalami beberapa perubahan. Namun, harapan tetap sama, acap kali disebutkan para pemain alat musik ini ‘semoga Sangen dapat terus meramaikan acara kesenian di Jepang dan di seluruh dunia’

Haegeum, Alat Musik Terinspirasi dari Jepang


Haegeum

Haegeum adalah salah satu alat musik tradisional Korea yang memiliki kemiripan dengan Biwa Jepang. Haegeum memiliki tubuh yang bulat dan halus, terbuat dari kayu dan bermaterial dasar kulit binatang. Bagian atas alat musik ini terlihat seperti selendang yang ketat, sedangkan bagian bawahnya berbentuk bulat seperti bola. Alat musik ini dimainkan dengan cara dipetik dengan plectrum atau jari, dan diumumkan secara berkala dalam setiap pentas musik tradisional Korea.

Keunhyung Park, seorang pemain Haegeum Korea, membuat album solo yang menonjol pada tahun 2008 berjudul ‘Haegum Plus’. Album ini merangkum dua alat musik yang berbeda dari Jepang dan Korea, yakni biwa dan haegum, untuk menciptakan musik baru yang menggabungkan tradisi Asia.

Pada tahun 2018, diadakan pertunjukan musik di Indonesia yang menghadirkan para musisi dari Jepang dan Korea. Pertunjukan musik tersebut mempertunjukkan karya kolaborasi musisi Jepang, Sho Asano yang memainkan alat musik khas Jepang, sho dan pemain Haegeum Korea, Kyungso Park. Kedua pemain musik tersebut berhasil menciptakan karya baru yang menyatu antara kebudayaan Korea dan Jepang.

Alat musik tradisional Jepang lain yang terinspirasi oleh Korea adalah shamisen. Pada awal abad ke-20, musik Jepang banyak meminjam variasi dari alat musik Korea dan China, dan dari sanad dari berbagai wilayah di dalam negeri Jepang. Pada akhirnya, shamisen, sebuah versi Jepang dari biwa, pun lebih dikenal di dalam negeri Jepang.

Berbeda dengan Haegum, shamisen terlihat lebih ringkas dan memiliki suara yang lebih tajam. Shamisen biasanya dimainkan dalam upacara teh, tarian, dan pertunjukan kabuki. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, instrumen ini pun berkembang dan semakin populer di kalangan masyarakat Jepang.

Pada akhirnya, instrumental musik tradisional Jepang selalu berkaitan dengan berbagai alat musik tradisional dari negara sekitarnya, baik itu Korea maupun China. Alhasil, pengaruh musik ini pun kerap menyebar ke seluruh dunia dan terus menyebarkan budaya satu sama lain melalui kolaborasi musik yang menyatu.

Iklan